JAKARTA (antidensus88at.blogspot.com) –
Panglima Komando Laskar Islam, Munarman mendesak kepolisian Republik Indonesia
untuk membubarkan satuan Detasemen Khusus (Densus) dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kedua lembaga tersebut yang selama ini
melakukan kedzaliman kepada Muslimin Indonesia.
”Densus 88 dan BNPT harus dibubarkan, karena
lembaga inilah yang melakukan kedzaliman kepada umat Islam dengan menangkap,
membunuh, dan memenjarakan beberapa umat Islam yang disangka teroris,” kata
Munarman pada acara Tabligh Akbar bertema “Bubarkan Densus 88” di Jakarta, Ahad
(14/4).
Munarman mengungkapkan, BNPT adalah lembaga yang
bertindak sebagai otak dan pembuat regulasi, sedangkan Densus 88 adalah lembaga
yang mencokok para target di lapangan.
“BNPT yang saat ini dipimpin oleh Ansyaad Mbai
telah melakukan upaya penggiringan opini publik melalui komentar-komentarnya
serta mengusulkan undang-undang terorisme kepada DPR. Sedangkan Densus 88
adalah bentukan dari Australia dan Amerika,” ungkapnya.
Undang-undang yang saat ini digunakan oleh Densus
88 sebagai payung hukum adalah UU no. 15 tahun 2003. Undang-undang itu
memberikan kewenangan penuh kepada kepolisian dalam hal ini Densus 88
untuk melakukan tindakan pemberantasan terorisme di Indonesia.
Namun, dalam undang-undang tersebut tidak
dijelaskan sejauh mana kewenangan Densus 88 dalam menangani para terduga
terorisme, sehingga yang terjadi dilapangan justru pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh mereka terhadap umat Islam.
“Dalam menjalankan tugas, Densus 88 sering kali
melakukan pelanggaran HAM dengan membunuh orang-orang yang diduga teroris itu.
Padahal mereka baru sebagai terduga dan belum ada bukti-bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan di depan pengadilan,” paparnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriyani mengatakan, ada banyak pelanggaran
yang ditemukan pihaknya dalam kasus-kasus yang dilakukan oleh Densus 88,
terutama yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah.
Menurut data yang diperoleh Indriyani,
pelanggaran tersebut berupa aksi penyiksaan dan penembakan ditempat yang
dilakukan oleh Densus 88, tanpa disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan belum
dilakukan peradilan terlebih dahulu.
Siane memberi contoh kasus ditembaknya Khalid,
terduga teroris Poso di sebuah masjid usai melaksanakan shalat Subuh. Padahal
Khalid adalah seorang pegawai negeri sipil yang setiap hari masuk kerja, tapi
dijadikan terduga teroris dan ditembak di tempat.
“Khalid ditembak dalam kondisi tidak berdaya di
lantai dan ditembak lurus dari atas dalam jarak yang dekat, sehingga peluru
tembus ke lantai. Tidak ada alasan bagi Densus 88 untuk menembak Khalid,” kata
Indriyani.
Siane menjelaskan, ada kegelisahan di pihak
kepolisian daerah mengenai sepak terjang Densus 88. Dalam melakukan operasi,
Densus 88 tidak pernah berkoordinasi dengan kepolisian daerah. “Masyarakat awam
tidak bisa membedakan mana aparat Densus dan mana aparat lokal, sehingga aparat
lokal yang berhubungan langsung dengan masyarakat menjadi sasaran
kemarahan,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar